Minggu, 24 Januari 2016

House




            “Masuklah dulu kamu kesana. Dandan dan gantilah pakaian di dalam. Cepat.” Bisik ayahku. Aku segera menuruti ayahku dan masuk lebih ke dalam di daerah pasar itu. Orangtuaku mengikuti di belakangku, dan masuk dengan jeda waktu yang berbeda. Memasuki sebuah toko yang penuh dijual pakaian, terompah dan bermacam tas. Aku disambut segera oleh pemilik toko dan menunjukkan sebuah kartu yang ayah berikan kepadaku. Dia mengangguk mengerti.
            Aku seorang gadis berumur 22 tahun. Kecerdikan yang keluargaku turunkan membuatku sulit mendapatkan pasangan. Ayahku menjadi seorang pedagang besar sekaligus mafia yang sangat dicari di masa jajahan Belanda ini. Kolega mafia ayahku sangat banyak dan akhirnya kami hidup berpindah-pindah dari kota satu ke kota yang lain.
            “Yati. Ya, namamu sekarang Yati.” kata ibuku ketika aku keluar dari kamar ganti di toko itu. Si pemilik toko sudah kembali ke tempat semula. Ibuku juga telah berganti penampilan. Tadi beliau berkonde dan memakai kebaya batik tulis banyumasan. Sekarang rambutnya telah digelung biasa dengan memakai poni samping, agak pirang dengan kebaya batik Jepara.
            “Yati?” tanyaku sambil mengernyitkan alis. Ah, sudah ke sepuluh kali ini namaku berganti.
            “Iya, dan nama ibumu ini Mbok Sumi.” Katanya sambil mengaca pada cermin disana. Belum selesai dengan keterkejutanku. Ada seseorang nyonya seumuran ibuku datang. Wajahnya sangat ramah dan pakaian yang dikenakannya khas kalangan konglomerat jawa. Batik sutera dan tusuk konde emas. -Sinta Arsokendro-
            “Nyonya, mari masuk kesini.” Aku mengikuti ibuku yang berjalan akrab dengan nyonya pemilik ruko ke dalam ruko itu. Toko yang biasa saja itu, menyimpan rahasia yang luar biasa. Di dalam terlihat tumpukan barang jualannya, di pojok ruangan gudang itu kami melewati pintu sempit. Pintu itu menghubungkan kami menuju ruangan-ruangan luas, pintu itu terkunci kembali. Ada seorang pria penjaga pintu disana.
            “Disini kami sebut lapis pertama nyonya.” Kata nyonya pemilik toko itu sambil memimpin kami menyusuri lorong yang terbuat dari rak-rak buku tebal. Sekilas ruangan ini seperti perpustakaan yang dipenuhi banyak rak-rak berjejer penuh buku. Banyak juga poster-poster yang terpajang dengan gambar wanita penari dan juga ada beberapa gambar yang tidak senonoh. Semuanya lukisan tangan yang sebenarnya tergambar apik, andai objeknya pemandangan. Keterkejutanku disadari oleh nyonya pemilik toko itu, Nyonya Minah.
            “”Maaf nona Karsih. Anak saya memang bandel dan nakal.” Katanya sambil tersenyum penuh arti. Aku ingat saat mereka pernah mengunjungi rumah kami di Banyumas, anak bujang mereka seumuranku memang sangat cerdas dan sedikit nakal. Ide yang sangat jenius jika lapis pertama tertembus. Rumah ini, semakin terlihat tak terbatas dan membuatku penasaran.
            “Saya Yati, nyonya.” Kataku sambil tersenyum. Lalu kami menuju ke ruangan yang berisi blok-blok kamar dan beberapa bar meja. Terdapat beberapa pengunjung yang dilayani dengan sopan oleh para pelayan disini. Aku yakin, kamar-kamar pembantu itu bisa berubah fungsi sewaktu-waktu.
            Kami menembus dapur yang berukuran cukup besar, terdapat beberapa pelayan yang sibuk memasak hidangan dan pesanan tamu.
            Nyonya Minah mengangguk memberi tanda seorang pelayan untuk mengambil tangga dan menarik sebuah gelang kecil di atas atap. Gelang kecil berwarna putih itu sekilas tak terlihat. Lalu terlihatlah tangga kayu turun untuk dipijak. Sepertinya tangga itu cukup aman.
            “Silahkan.” Nyonya Minah mendahului kami naik. Kami harus menyingkap jarit kami sedikit lebih tinggi agar mudah untuk melangkahkan kaki. -Sinta Arsokendro-
            “Apa ini lapis kedua?” tanyaku memastikan.
            “Tepat sekali, nona... Yati. Inilah ruangan aman anda sekeluarga, nyonya. Kamar saya dan suami ada di lantai dasar. Silahkan pilih kamar yang akan digunakan. Pelayan di lapis dua ini akan membantu anda semua. Jika ada keperluan mendesak, segera kabari pelayan yang ada didapur atau kabari putra saya di lapis tiga. Dia pasti akan membantu.” Kata pungkasnya sambil undur diri.
                                                                        $$$
            Aku berada di lapis kedua rumah besar di dalam sebuah ruko pasar. Ruko-ruko disini ditinggali oleh pedagang. Dan aku yakin, ruko inilah yang paling besar. Sekilas ukurannya normal seperti ruko biasa dengan dua lantai. Tapi, ketika sudah mengerahui rahasianya, ah... aku yakin ruko ini yang paling besar.
            Seperti yang terduga, setelah berkeliling di lapis dua ini. Tak ada anak tangga menuju lapis tiga, yang ada hanya berpuluh-puluh lemari jati besar berjejer seakan membuat sekat, terdapat pula beberapa dipan jati, dan puluhan meja dan kursi yang tersusun. Semuanya ukiran jati. Aku malah melihat adik laki-lakiku yang sedang tertidur di sebuah dipan di tengah ruangan. Dipan itu berjajar dua buah, di balik beberapa lemari.
            “Seno, kamu dari mana saja?” tanyaku sambil mendorong punggungnya. Seno hanya tersenyum mendengar suaraku dan meneruskan tidurnya.
            “Ceritanya panjang, mbakyu. Dan sekarang aku Karyo” Gumamnya dibalik tidurnya.
            “Hei, kapan kau sampai kemari?” aku masih mendesaknya.
            “Baru saja mbakyu,” dia akhirnya duduk dan mulai menanggapiku, “aku masuk lewat pintu samping dan tembus langsung ke lapis dua ini.”
            “Kau masuk sendiri?” aku makin penasaran.
            “Tentu saja tidak, mbakyu. Rumah besar seperti labirin ini, mana mungkin aku bisa menenmbusnya sendiri tanpa tahu keadaannya.” Katanya.
            “Lalu?”
            “Kang Jamil yang menunjukkannya. Kang Jamil, putra dari pemilik rumah itu. Sudah ya mbakyu, ijinkan aku tidur sejenak.” Katanya lalu kembali tertidur. -Sinta Arsokendro-
            Ibuku masuk ke salah satu kamar, sedangkan ayahku baru saja muncul dan menulis sesuatu di meja dekat adikkuu tidur. Dia hanya tersenyum padaku dan kembali menulis.
            Aku menjauh, aku yakin ada yang ayah rencanakan. Tapi apa? Senyum ayah itu selalu mengundangku untuk lebih berpikir apa yang disembunyikannya. Astaga, jangan-jangan?
            Aku berlari lagi menuju ayahku.
            “Ayah, apa kau berniat menikahkanku dengan Kang Jamil, sebagai ganti persembunyian ini?” Aku menatap tajam ke arahnya, dia hanya tersenyum. Ah bukan itu.
            “Kenapa kau berpikir begitu?” tanya ayah masih dengan tersenyum. Aku baru teringat bahwa pemilik toko itu yang bernama Tuan Darso dan Nyonya Minah itu salah satu bawahan Ayah. Ah, rumah ini milik ayah. Ayah juga mafia ukiran jati? Astaga.
            “Ah, hanya pemikiran gegabahku ayah.”
            “Aku akan menyurati tuan Cokro Danubroto,” perasaanku tak enak akan ini, “Akan kuserahkan kau padanya?”
            “Kepada tuan Cokro?” maksudnya untuk dijadikan istri kesekiankah?
            “Tentu saja untuk menjadi menantunya. Anak tunggalnya masih belum menikah.” Senyumnya mengembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar