“Masuklah dulu kamu kesana. Dandan
dan gantilah pakaian di dalam. Cepat.” Bisik ayahku. Aku segera menuruti ayahku
dan masuk lebih ke dalam di daerah pasar itu. Orangtuaku mengikuti di
belakangku, dan masuk dengan jeda waktu yang berbeda. Memasuki sebuah toko yang
penuh dijual pakaian, terompah dan bermacam tas. Aku disambut segera oleh
pemilik toko dan menunjukkan sebuah kartu yang ayah berikan kepadaku. Dia
mengangguk mengerti.
Aku seorang gadis berumur 22 tahun.
Kecerdikan yang keluargaku turunkan membuatku sulit mendapatkan pasangan.
Ayahku menjadi seorang pedagang besar sekaligus mafia yang sangat dicari di
masa jajahan Belanda ini. Kolega mafia ayahku sangat banyak dan akhirnya kami
hidup berpindah-pindah dari kota satu ke kota yang lain.
“Yati. Ya, namamu sekarang Yati.”
kata ibuku ketika aku keluar dari kamar ganti di toko itu. Si pemilik toko
sudah kembali ke tempat semula. Ibuku juga telah berganti penampilan. Tadi
beliau berkonde dan memakai kebaya batik tulis banyumasan. Sekarang rambutnya
telah digelung biasa dengan memakai poni samping, agak pirang dengan kebaya
batik Jepara.
“Yati?” tanyaku sambil mengernyitkan
alis. Ah, sudah ke sepuluh kali ini namaku berganti.
“Iya, dan nama ibumu ini Mbok Sumi.”
Katanya sambil mengaca pada cermin disana. Belum selesai dengan keterkejutanku.
Ada seseorang nyonya seumuran ibuku datang. Wajahnya sangat ramah dan pakaian
yang dikenakannya khas kalangan konglomerat jawa. Batik sutera dan tusuk konde
emas. -Sinta Arsokendro-
“Nyonya, mari masuk kesini.” Aku mengikuti
ibuku yang berjalan akrab dengan nyonya pemilik ruko ke dalam ruko itu. Toko
yang biasa saja itu, menyimpan rahasia yang luar biasa. Di dalam terlihat
tumpukan barang jualannya, di pojok ruangan gudang itu kami melewati pintu
sempit. Pintu itu menghubungkan kami menuju ruangan-ruangan luas, pintu itu
terkunci kembali. Ada seorang pria penjaga pintu disana.
“Disini kami sebut lapis pertama
nyonya.” Kata nyonya pemilik toko itu sambil memimpin kami menyusuri lorong
yang terbuat dari rak-rak buku tebal. Sekilas ruangan ini seperti perpustakaan
yang dipenuhi banyak rak-rak berjejer penuh buku. Banyak juga poster-poster
yang terpajang dengan gambar wanita penari dan juga ada beberapa gambar yang
tidak senonoh. Semuanya lukisan tangan yang sebenarnya tergambar apik, andai
objeknya pemandangan. Keterkejutanku disadari oleh nyonya pemilik toko itu,
Nyonya Minah.
“”Maaf nona Karsih. Anak saya memang
bandel dan nakal.” Katanya sambil tersenyum penuh arti. Aku ingat saat mereka
pernah mengunjungi rumah kami di Banyumas, anak bujang mereka seumuranku memang
sangat cerdas dan sedikit nakal. Ide yang sangat jenius jika lapis pertama
tertembus. Rumah ini, semakin terlihat tak terbatas dan membuatku penasaran.
“Saya Yati, nyonya.” Kataku sambil
tersenyum. Lalu kami menuju ke ruangan yang berisi blok-blok kamar dan beberapa
bar meja. Terdapat beberapa pengunjung yang dilayani dengan sopan oleh para
pelayan disini. Aku yakin, kamar-kamar pembantu itu bisa berubah fungsi
sewaktu-waktu.
Kami menembus dapur yang berukuran
cukup besar, terdapat beberapa pelayan yang sibuk memasak hidangan dan pesanan
tamu.
Nyonya Minah mengangguk memberi
tanda seorang pelayan untuk mengambil tangga dan menarik sebuah gelang kecil di
atas atap. Gelang kecil berwarna putih itu sekilas tak terlihat. Lalu
terlihatlah tangga kayu turun untuk dipijak. Sepertinya tangga itu cukup aman.
“Silahkan.” Nyonya Minah mendahului
kami naik. Kami harus menyingkap jarit kami sedikit lebih tinggi agar mudah
untuk melangkahkan kaki. -Sinta Arsokendro-
“Apa ini lapis kedua?” tanyaku
memastikan.
“Tepat sekali, nona... Yati. Inilah
ruangan aman anda sekeluarga, nyonya. Kamar saya dan suami ada di lantai dasar.
Silahkan pilih kamar yang akan digunakan. Pelayan di lapis dua ini akan
membantu anda semua. Jika ada keperluan mendesak, segera kabari pelayan yang
ada didapur atau kabari putra saya di lapis tiga. Dia pasti akan membantu.”
Kata pungkasnya sambil undur diri.
$$$
Aku berada di lapis kedua rumah
besar di dalam sebuah ruko pasar. Ruko-ruko disini ditinggali oleh pedagang.
Dan aku yakin, ruko inilah yang paling besar. Sekilas ukurannya normal seperti
ruko biasa dengan dua lantai. Tapi, ketika sudah mengerahui rahasianya, ah...
aku yakin ruko ini yang paling besar.
Seperti yang terduga, setelah
berkeliling di lapis dua ini. Tak ada anak tangga menuju lapis tiga, yang ada
hanya berpuluh-puluh lemari jati besar berjejer seakan membuat sekat, terdapat
pula beberapa dipan jati, dan puluhan meja dan kursi yang tersusun. Semuanya
ukiran jati. Aku malah melihat adik laki-lakiku yang sedang tertidur di sebuah
dipan di tengah ruangan. Dipan itu berjajar dua buah, di balik beberapa lemari.
“Seno, kamu dari mana saja?” tanyaku
sambil mendorong punggungnya. Seno hanya tersenyum mendengar suaraku dan
meneruskan tidurnya.
“Ceritanya panjang, mbakyu. Dan
sekarang aku Karyo” Gumamnya dibalik tidurnya.
“Hei, kapan kau sampai kemari?” aku
masih mendesaknya.
“Baru saja mbakyu,” dia akhirnya
duduk dan mulai menanggapiku, “aku masuk lewat pintu samping dan tembus
langsung ke lapis dua ini.”
“Kau masuk sendiri?” aku makin
penasaran.
“Tentu saja tidak, mbakyu. Rumah
besar seperti labirin ini, mana mungkin aku bisa menenmbusnya sendiri tanpa
tahu keadaannya.” Katanya.
“Lalu?”
“Kang Jamil yang menunjukkannya.
Kang Jamil, putra dari pemilik rumah itu. Sudah ya mbakyu, ijinkan aku tidur
sejenak.” Katanya lalu kembali tertidur. -Sinta Arsokendro-
Ibuku masuk ke salah satu kamar,
sedangkan ayahku baru saja muncul dan menulis sesuatu di meja dekat adikkuu
tidur. Dia hanya tersenyum padaku dan kembali menulis.
Aku menjauh, aku yakin ada yang ayah
rencanakan. Tapi apa? Senyum ayah itu selalu mengundangku untuk lebih berpikir
apa yang disembunyikannya. Astaga, jangan-jangan?
Aku berlari lagi menuju ayahku.
“Ayah, apa kau berniat menikahkanku
dengan Kang Jamil, sebagai ganti persembunyian ini?” Aku menatap tajam ke
arahnya, dia hanya tersenyum. Ah bukan itu.
“Kenapa kau berpikir begitu?” tanya
ayah masih dengan tersenyum. Aku baru teringat bahwa pemilik toko itu yang
bernama Tuan Darso dan Nyonya Minah itu salah satu bawahan Ayah. Ah, rumah ini
milik ayah. Ayah juga mafia ukiran jati? Astaga.
“Ah, hanya pemikiran gegabahku
ayah.”
“Aku akan menyurati tuan Cokro
Danubroto,” perasaanku tak enak akan ini, “Akan kuserahkan kau padanya?”
“Kepada tuan Cokro?” maksudnya untuk
dijadikan istri kesekiankah?
“Tentu saja untuk menjadi menantunya. Anak tunggalnya
masih belum menikah.” Senyumnya mengembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar