“Mari semua bergandengan tangan. Kita nikmati kebersamaan
ini!” pekik sang vokalis band di acara perpisahan sekolahku. Tangan kananku digenggam oleh seseorang, kutengok ke
sebelah kananku, ternyata Via, teman sekelasku. Dan saat aku menengok ke
arah kiri, kau berada tak jauh disebelah kiriku. Agak ragu untukku meminta ijin untuk menggandeng tanganmu, karena
kita tak saling kenal, meski aku mengetahuimu. Dika Karindra. Mantan Ketua OSIS
yang penuh Kharisma. Akhirnya aku hanya mencubit lengan kanan bajumu hingga kau
terkejut dan menengok kearahku. Tatapan tajammu menghujamku.
“Ayo gandengan tangan.” ajakku sedikit ragu. Kuulurkan
tanganku. Rasa canggung menghantuiku. Hingga tangannya yang besar itu
menggapaiku. Ah.... Barca!
Sedetik... dua detik... tiga detik....
Aneh, kenapa aku jadi begini? Detak jantungku serasa tak teratur dan semakin cepat.
Saat sibuk merasa canggung, Mohan lewat di
depanku.
“Mohan... sini.” Panggilku dan Via bersamaan.
“Apa?” tanyanya polos. Dia baru saja mencoba
jaket barunya yang baru dia dapatkan dari undian, hingga tak menyadari teman-teman lainnya sudah bergandengan tangan. Akhirnya Mohan menarik tangan kananku dan menggenggamnya. Astaga! sejenak aku
melupakan boleh atau tidaknya menggenggam tangan cowok yang belum mahram.
Hahaha....
Kita bergandengan tangan semua, membentuk sebuah lingkaran besar yang melingkari panggung pertunjukkan dalam ruangan. Sebelah kananku Mohan, dan sebelah
kiriku ada Dika. Lama! Sambil menyanyikan lagu Kemesraannya Iwan Fals. Tangan
mereka berdua begitu lebar, serta berlengan panjang. Hahaha... iya juga sih,
mereka kan cowok.
Aku baru kenal kamu hari ini, juga baru kenal dia. Aku
juga tahu kalau kau tak tahu namaku. Tapi aku merasa kalau kita begitu dekat.
Ini kita... aku, kamu, dan dia. Tania, Dika dan Mohan.
Tangan kami masih bergandengan. Aku baru sadar ternyata
lagu ini sangat lama. Belum lagi pundakku terasa pegal karena tangan kami terangkat ke atas, dan turun ke bawah, berayun... Kebayang kan? -Sinta Arsokendro-
Acara perpisahan pun usai. Segera saja aula berubah sepi.
Hanya tinggal segelintir orang yang membereskan ruangan. Masih juga ada kau dan
dia. Hingga saat selesai berberes, mereka semua duduk lunglai di lantai.
Kugapai gitarku dan bermain diantara Via, Bobby dan Jaka.
“Eh,
itu sapa yang masang spanduk tadi pagi? Silinder parah! Geser nyampe lima
senti, hahaha.... ngaku sapa!”
“Kenapa
emang?” tanya Mohan, sambil duduk di sebelah kirimu.
“Sumpah,
ini yang masang sapa? Ngaku nggak? Ngaku nggak, hahaha...?” ejekku sambil
nggenjrengin gitar. Masih ada sekitar sepuluh orang disitu termasuk aku dan Via
yang sedang menyapu.
“Aku..
aku... Kenapa sih?” Dika mengaku.
“Wah,
kamu Ka? Edyan ah... silinder parah! Hahaha.” aku masih melanjutkan tertawa.
“Hah,
Silinder? Kok bisa?”
“Iya
lah... Silinder kan nggak bisa membuat garis lurus. Nah tuh, spanduk aja miring
lima senti. Hahahaa...” -Sinta Arsokendro-
“Eh,
miring yak? Ah udah ah, biarin. Capek kok, masang tinggi begitu.” ujarmu membela diri.
“Yaudah
lah Dik.” Mohan membelamu sambil tersenyum.
Kemudian
aku mendekati kamu yang sibuk mengobrol dengan Mohan. Kuletakkan gitarku.
“Ka, katanya di daerah deket rumahmu ada kebakaran ya?” tanyaku sok akrab ke Dika, untuk mengobati rasa bersalahku karena baru saja mengejeknya.
“Ah, iya... kok kamu tau? Kamu orang mana sih?” kau akhirnya bertanya dimana asalku.
“Aku anak Jalan Permai. Tau kah?” tanyaku.
“Oh, anak permai.”
“Iya, kenal Sancha nggak? Anak di kelasmu. Lha, dia tmen
TK ku dulu.” semakin sok akrab, hehehe...
“Oh, kamu tetangganya Sancha. Pantes. Cerewetnya sama.
Dia cengeng banget yak.” kau mulai tertarik dengan obrolan ini.
“Huum, wah kamu deket toh sama Sancha.” aku jadi kaget sendiri, agak sedikit kecewa, kenapa dia perhatian banget sama Sancha? sedekat itukah? jangan-jangan ...
“Yoi, lumayan. Kan sekelas juga. Suka aku usilin,
hahaha....”
“Wu~ dasar usil!” kataku mati gaya. Yah, kamu keliatannya
naksir Sancha.
“Yee...” katamu sambil menggapai gitarku.
“Gitarnya sapa Dik?” tanya Shafira yang kebetulan lewat
dan memberi sepiring rujak dari bu Kepala Sekolah. Ada sekitar 5 piring rujak
buah yang terhidang.
“Gitarku
dong, hahaha...” Dika ketawa... sambil melirik ke arahku. Mohan menerima
sepiring rujak dari Shafira. Shafira pun pergi, dengan ekspresi masih nggak
percaya sama Kamu.
“Hahaha....
wajahnya Shafira meragukanmu Dik.” Mohan ketawa. Kamu memanyunkan bibirmu dan
mencoba beberapa kunci.
“Coba
nyanyiin satu lagu, Ka.” Perintahku.
“Aku
nggak bisa main gitar...” jawabmu jujur.
“Ah,
masa...” kali ini aku yang nggak percaya.
“Beneran....”
katamu dan meletakkan gitar kembali ke lantai. Menyerah.
“Yahelah,
ternyata nggak bisa beneran toh.” jawabku akhirnya.
“Iya...
Udah ah, makan yuk.” Ajakmu. Kau pun menggapai piring berisi rujak buah itu dan
mulai makan. -Sinta Arsokendro-
“Mauuu
dong bengkoangnya!” seruku padamu, aku menghampirimu duduk di bangku tepat sebelah kananmu.
“Bengkoangnya
Dik.” pinta Mohan. Karena lidinya cuma satu dan kamu yang ada di tengah.
Jadilah kamu yang menyuapi kami, aku dan Mohan. Berasa bapak lagi nyuapin
anak-anaknya. Awalnya aku tahu kamu ragu untuk menyuapi, tapi akhirnya kamu berani
juga, wkwkwk... akunya yang jadinya rada canggung harus membuka mulut.
“Jambunya
Ka...” pintaku padamu.
“Mana
ada jambu? Ngawur kamu.” Kau mengelak.
“itu
lho... depanmu. Ya nggak Han?”
“Iya
tuh yang merah Dik.” Mohan menunjuk piring.
“Oia
ding, hahaha....”
“Wah,
kamu. Selain silinder, plus juga toh matanya.” aku langsung nyeletuk.
“Kok
bisa Plus?”
“Iya
lah, orang nggak bisa lihat jarak deket. Kan plus. Kayak orang yang udah tua.
Hahaha.... kamu udah tua ya Ka?”
“Iya,
aku lahir tahun ‘91” Dika mulai terdengar sebal dengan kicauanku.
“Serius?
Pantes keliatan tua, hahaha....” aku menertawaimu.
“Emangnya
aku keliatan udah tua banget ya Han?” kau mulai meminta pembelaan Mohan.
“Enggak
lah... kamu lahir mei ‘92 kan?" Mohan menyahut.
“Iya
tanggal 14. Kok kamu tahu Han?” Kamu kaget.
“Aku
kan ngertiin kamu Dik, hahaha....” Dia mulai berkedip ke kamu.
“Ih,
kalian serem.” Kataku sambil menutup kedua mataku dengan tangan. Kemudian kita
tertawa bersama.
“Tenang,
si Kalem ini udah punya cewek kok. Dia normal...” katamu tentangnya. Dan dia
mengangguk polos.
“Nah,
kalo Mohan normal, kamu?” tanyaku padamu.
“Dia
normal juga kok. Buktinya ndeketin kamu. Hahaha....” ketawanya Mohan sudah
membuat kesan kalemnya dia hancur seketika. Diiringi senyummu, sok nggantengmu
pula.
“Nih,
tinggal potongan jambu tiga buah. Buat kamu,” katamu sambil menusukkan tiga
potongan buah jambu sekaligus, “aaaa......” dan kau menuntunku untuk membuka
mulutku lebar-lebar. Aku membuka mulutku dan tertawa.... sungguh aku malu. Dan
aku yakin wajahku sudah merah melebihi warna jambu air sekarang. Kulahap
suapannya. Saatnya mereka pergi untuk sholat Jumat. Auramu pasti lebih cerah
saat pulang jumatan nanti. Ah... aku menantikan itu. ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar